Lumpur Lapindo

Kita pasti masih ingat dengan  tagedi lumpur Lapindo sejak semburan pertama di Desa Renokenongo, Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, pada 29 Mei 2006  hingga sekarang tahun 2010, berarti telah 4 tahun Lumpur itu menutupi daratan kita tercinta. Kini, menjelang empat tahun lumpur menyembur, sekelompok anak muda kembali mengkritik dan menyatakan prihatin atas tenggelamnya 12 desa sehingga 14.000 keluarga kehilangan tempat tinggal akibat lumpur panas Lapindo. Sebagian orang berdemo degan cara berkumpul bersama korban Lumpur lainnya untuk menyuarakan Hak mereka yang di rebut oleh PT Lapindo, Mereka juga memasang spanduk besar di salah satu pohon. Spanduk itu mengkritik salah satu perusahaan yang tergabung dalam Bakrie Group. Spanduk itu bertuliskan "Ngoceh 100 jam nonstop. Sampe lupa kalau ada saudara kita yang tenggelam, dan di puncak aksi, mereka melakukan aksi teatrikal yang diperankan oleh empat orang diiringi dentuman drum. Dua orang berpakaian rapi dengan dasi di leher terus menelepon, sedangkan dua lagi dengan mengenakan celana sekolah menderita terkena lumpur. "Hilang... Tenggelam...," teriak salah satu peserta menutup aksi. Pemerintah dan Lapindo hanya bisa ngoceh tanpa ada realisasi. Selalu bilang sudah ditangani, sudah selesai, baik-baik aja. Tapi nyatanya sampai sekarang lumpur masih menyembur teriak salah satu dari pendemo.

 
     Sebanyak 61.763 berkas korban lumpur PT Lapindo Brantas Inc di Porong, Sidoarjo, belum diberi ganti rugi oleh PT Minarak Lapindo Jaya selaku juru bayar PT Lapindo. Saat ini terdapat 75.000 berkas yang sudah dibayar lunas dari total 13.237 berkas yang masuk, kata Vice President PT Minarak Lapindo Jaya, Andi Darussalam Tabusala, ia juga mengakui, beberapa waktu lalu terjadi keterlambatan pembayaran karena adanya masalah keuangan perusahaan yang kini sedang dialami oleh Minarak. Tapi, saat ini kami berjanji akan menyelesaikan pembayaran dengan tepat waktu, sehingga bisa selesai sesuai dengan target.

   Menurut masyarakat Setempat bahwa masalah ini bisa terjadi karena faktor kelalaian manusia atau mereka PT Lapindo , gara-gara mereka telah terjadi Peristiwa yang tidak akan pernah dilupakan seumur hidup. Peristiwa yang membuat ribuan orang kehilangan masa depan, lingkungan, bahkan usaha yang dibangun puluhan tahun. Keteledoran manusia itu telah membuat penderitaan bagi ribuan orang. Peristiwa lumpur Lapindo pada Mei 2006 telah meluluhlantakkan puluhan desa bahkan ribuan rumah di Sidoarjo. Dan, hingga kini rumah yang rusak berat akibat hantaman lumpur tidak ada yang bertanggung jawab.

     Menurut masyarakat tragedi pada 29 Mei 2006 itu terjadi diduga karena petugas tidak memasang casing pada kedalaman tertentu saat pengeboran yang dilakukan PT Lapindo Brantas. Lumpur panas pun menyembur keluar dan dalam hitungan bulan desa-desa sekitar pusat semburan lumpur tenggelam. Sampai menjelang empat tahun lumpur menyembur, penyelesaian kasusnya tak pernah tuntas dengan meninggalkan penderitaan ribuan warga Sidoarjo.

http://agil-asshofie.blogspot.com/2011/06/lumpur-lapindo-dan-solusinya-bagi.html

comment saya: yang harus dilakukan selain ganti rugi bagi korban, yang lebih penting adalah memberi kepastian dan pilihan yang menentukan masa depan korban yang lama telah terlantar. Semburan yang hingga sekarang tahun 2012 belum berenti berhenti, pemerinta harus menyiapkan penampungan sementara yang memenuhi kelayakan hingga dapat menempati tempat tinggal semula. Tentu harus disiapkan pembangunan kembali perumahan, infrastruktur dan fasilitas sosial yang rusak terendam lumpur. Tidak kalah penting, menyiapkan program ekonomi untuk mengembalikan penghidupan korban yang dalam jangka panjang tidak akan dapat menggantungkan pada lahan persawahan atau tambak, dan pemerintah atau orang yang bertanggung jawab harus segera diputuskan adanya relokasi korban.

     Persoalan paling penting adalah menentukan apakah relokasi itu dilakukan di wilayah Kabupaten Sidoarjo sendiri atau ke wilayah lain karena menyangkut identitas kelahiran dan ikatan nenek moyang yang tidak mudah dihilangkan. Harus juga dilakukan dengan menyediakan sarana perumahan, infrastruktur memadai, fasilitas umum dan sosial, serta ketersediaan lapangan kerja baru sesuai keahlian yang dimiliki masing-masing korban. 

     Penyelesaian juga harus bermartabat, maksudnya adalah bermartabat tidak hanya bagi pemerintah, tapi juga bagi pengusaha, terlebih bagi korban lumpur Lapindo. Pemerintah dianggap bermartabat jika ia tetap bertanggung jawab kepada rakyat. Pengusaha dianggap bermartabat jika memiliki kepedulian terhadap masyarakat. Jalan itu ada dan dapat dilakukan segera. Pihak-pihak di atas rakyat (pengusaha dan pemerintah) tidak perlu mencari cara menghindar, apalagi lari, dari tuntutan menyelesaikan masalah lumpur Lapindo.

     Langkah lebih lanjut sudah barang tentu memulihkan kehidupan mereka agar normal kembali, dengan memberikan kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan kembali. Dana yang mungkin dianggarkan oleh pemerintah adalah dana subsidi untuk hidup, misalnya selama setahun, sampai masyarakat bisa dilepas ke pekerjaan semula. Akan lebih baik lagi kalau kemudian pemerintah memberikan fasilitas penunjang yang memungkinkan terbukanya kembali peluang kerja bagi mereka, misalnya menanam dengan pola penanaman secara tumpang sari, seperti dimungkinkan menanam tanaman jambu mete di antara tanaman kayu jati (seperti contoh di Vietnam). Alternatif lain dari jambu mete adalah mangga Probolinggo, jambu Madura, atau kelengkeng dataran rendah. Pihak perusahaan makanan juga bisa ikut membantu memulihkan kehidupan ekonomi warga dengan menampung hasil produk kedelai dan kacang tanah untuk industri kecap atau makanan ringan. Demikian juga produk yang lain, sehingga selain ekonomi segera pulih, ada nilai tambah dari hasil produk pertanian warga. Ganti rugi yang akan dilaksanakan meliputi ganti rugi atas tanah dan  bangunan, aset lainnya seperti pohon, dan lahan pertanian. Ganti rugi adalah salah satu dari tiga alternatif kompensasi yang ditawarkan Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur di Sidoarjo kepada warga korban lumpur. Adapun dua alternatif lainnya ialah bedol desa dan relokasi. Sejauh ini, sebagian besar warga cenderung memilih ganti rugi.

  Yang terakhir adalah Sawah mereka hancur, masa depan tanah mereka juga. Tanah itu tidak akan ekonomis lagi sepanjang masa. Tempat yang mereka tinggali sudah berubah total. Kalau perlu harus dipikirkan sekarang juga solusi relokasi. Akan tetapi jangan ke tempat yang membuat mereka sengsara, tapi ke tempat yang bisa membuat mereka kembali hidup bermartabat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar